Perlukah pembangunan ‘shinkansen-nya indonesia’
??”
Pemerintahan
Jokowi berencana membangun suatu infrastruktur dalam rangka menunjang sarana
transportasi di Indonesia berupa kereta cepat. Hal ini menuai pro dan
kontra di kalangan masyarakat karena di tengah perlambatan ekonomi,
pemerintah justru membangun suatu infrastruktur yang belum tentu dapat
menunjang ekonomi Indonesia yang tengah dihadapi tekanan dari luar maupun
dari dalam negeri. Upaya pemerintah tersebut mengahasilan suatu
pertanyaan, “Sudah perlukah pembangunan Shinkansen-nya Indonesia???”
|
Masih
membekas di pikiran tentang betapa suksesnya bapak Ignasius Jonan dikala
menjabat sebagai direktur PT.KAI. Insdustri kereta api Indonesia mengalami
banyak kemajuan dan perubahan menuju perubahan kearah yang positif. Penulis
sebagai pecinta kereta api-pun merasakan suatu perubahan yang sangat besar dan
signifikan pada saat Pak Jonan menjabat sebagai dirut PT.KAI. Neraca PT.KAI
yang waktu itu selalu dilaporkan merugi setiap tahunnya, diperbaiki. Perubahan
yang dilakukan Pak Jonan bukan hanya dilakukan dari sisi manajemen PT.KAI saja.
Sebagai penumpang yang sering memafaatkan jasa kereta api, perubahan sangat
terasa dari sisi pelayanan dan juga infrastruktur. Mungkin masih banyak lagi
perubahan yang dilakukkan Pak Jonan dalam tubuh PT.KAI.
Pernah ada wacana sejak tahun 2012
bahwa Indonesia akan mendirikan jalur kereta api cepat dengan relasi Jakarta-Surabaya. Pada saat itu
Jepang bersedia menjadi investornya. Namun tidak lama kemudian, wacana itu
ditolak oleh pemerintah. Sebagai masyarakat, saya mungkin menyadari bahwa lebih
penting memperbaiki infrastruktur kereta api yang ada daripada menciptakan
infrastruktur baru yang belum diketahui pangsa pasarnya. Namun entah kenapa
belakangan ini, isu tersebut kembali mencuat. Pemerintah tengah melakukan
peninjauan tender investor kepada Tiongkok dan Jepang terkain pembangunan jalur
kereta cepat Jakarta-Bandung.
Pada saat mengetahui berita tersebut,
Saya berpikir “lho kok bisa? Perasaan baru kemarin proyek ini di tolak”.
Terlebih lagi ditengah tekanan ekonomi Indonesia luar-dalam. Memang salah satu
upaya pembangunan ekonomi bisa melalui pembangunan infrastruktur, namun pada
saat ini, yang terpenting adalah melakkukan pembangunan dibidang industry dan
produksi. Itupun menurut Saya industry dan produksi dalam negeri, bukan dari
investor asing. Mengapa harus industry karya anak negeri?!. Mungkin jawaban itu
akan dibahas di tulisan selanjutnya karena menyangkut berbagai macam persoalan
multifactorial yang bergabung menjadi rantai dan harus diperbaiki satu persatu.
Kembali ke topik, jika dilihat
secara kasat mata (tanpa melihat berbagai macam keadaan di negeri ini), mungki
orang akan bilang “wah, keren.. Pak Jokowi mau bikin Shinkansen di Indonesia”.
Tapi coba kita tilik lebih dalam, apakah perlu pelaksanaan proyek tersebut?”.
Jika kita ambil segi pangsa pasar sebagai salah satu contohnya, jika dilihat,
trayek Jakarta-Bandung untuk darat sudah ada kereta api, bus, travel dan
kendaraan pribadi (itupun belum termasuk travel-travel tak berijin yang
mengambil penumpang secara illegal, alias plat hitam). Maskapai penerbangan pun
ada beberapa yang membuka rutenya
Jakarta-bandung. Kita lihat proporsi pengguna moda transportasi yang ada
di relasi tersebut. Jika di lihat secara kasat mata-pun, proporsi pengguna moda
transportasi masih di dominasi oleh kendaraan pribadi, dibandingkan dengan yang
lainnya.
Lima tahun yang lalu, terdapat dua
kereta api relasi Jakarta-bandung, Argo Gede (eksekutif) dan Parahnyangan
(eksekutif dan bisnis). Saya melihat betul animo masyarakat untuk menggunakan
kerta api pada relasi tersebut kurang maksimal, terlebih lagi semenjak sudah
beroperasinya tol Cipularang. Pada saat itu saya ingat sekali PTKAI sering
promosi tiket untuk relasi tersebut. Pada saat itu saya berpikir “apakah
peminatnya memang sangat sepi, sampai-sampai harus sering melakukan promosi
tiket?”. Terlebih lagi jadwal kereta relasi tersebut yang sangat banyak, sehingga
makin memperjelas bahwa PTKAI pada saat itu berupaya untuk menjaring pengguna
transportasi untuk menggunakan kereta api relasi tersebut. Pada akhirnya, setelah beberapa tahun
(tepatnya sya lupa) Argo Parahyangan di munculkan, Argo Parahyangan (eksekutif dan
bisnis) menggantikan Argo Gede dan Parahyangan (mungkin di lebur). Hal ini
semakin memperkuat bahwa ketertarikan masyarakat untuk menggunakan kereta api
untuk jurusan Jakarta-Bandung sangat sedikit, “ wong kereta apinya saja yang
tadinya ada dua jadi tinggal satu”.
Beberapa tahun berselang dibuka
kereta api relasi Jakarta-bandung yang melayani kereta api ekonomi (KA Serayu).
Sebenarnya tujuannya bukan ke bandung, tetapi ke Purwokerto-Jakarta lewat
Bandung. Namun sudah beberapa tahun berselang, peminatnya juga tetap belum
maksimal. Hal ini menunjukkan bahwa moda kereta api untuk jurusan
bandung-jakarta masih belum popouler dan
diminati masyarakat.
Pemerintah seharusnya lebih peka dan
serius dalam mencari alasan mengapa suatu moda transportasi tersebut minim
animo. Hal yang dikhawatirkan akan terjadi apabila proyek ini terus dilanjutkan
(di bawah swasta luar negeri alias investor asing), analisis mengenai pangsa
pasar yang masih belum meyakinkan. Akan sangat merugikan apabila ternyata
pangsa pasar infrastruktur tersebut minim, terlebih lagi dikelola oleh swasta.
Mungkin pada saat pertama kali beroperasi akan ada banyak lowongan kerja, namun
bila pangsa pasarnya tidak ada, dan perusahaan tersebut mengalami defisit biaya
operasional, bisa diramalkan akan terjadi PHK besar besaran.
Saya percaya bahwa apabila nanti
kereta cepat relasi bandung-jakarta beroperasi, tentunya biaya tiketnya akan
lebih tinggi dibandingkan dengan kereta biasa. Hal ini akan sangat berkaitan
dan bergantung pada daya beli masyarakat sedangkan daya beli sangat bergantung
kepada keadaan ekonomi. Jika hal ini terus dipaksakan, maka besar kemungkinan
animo masyarakat untuk pergi ke bandung-jakarta ataupun sebaliknya akan rendah.
Masyarakat akan lebih memilih moda transportasi yang bisa mereka tanggung
dengan keadaan ekonominya saat itu. Dan kebijakan ini apabila akan diterapkan
akan seperti memantik sumbu bom waktu.
Pada artikel KOMPAS tanggal 2
September 2015, terdapat pemaparan mengenai segala macam penelitian tentang
efek pembangunan kereta cepat di Jepang. Menurut saya, menyajikan data terkait
sangatlah konyol, karena dari data tersebut, didapatkan hasil bahwa beberapa
parameter ekonomi Jepang maningkat dengan adanya kereta cepat tersebut. Namun
jika ditinjau lebih teliti lagi, kondisi Negara Jepang adalah Negara yang maju,
dan Negara yang maju sudah tentu masyarakatnya memiliki daya beli yang tinggi.
Sementara itu di Indonesia?? Anda bisa bayangkan sendiri bukan. [Hahn]
Menilik Lebih Dalam
OPINI
“Di saat
Indonesia tengah menghadapi perlambatan ekonomi seperti ini, seharusnya
pemerintah berupaya untuk melakukan pembangunan dan perubahan dibidang
industri dan produksi. Bukan dalam bidang infrastruktur yang belum tentu
jelas manfaatnya terhadap pembangunan ekonomi Indonesia yang sedang
menghadapi tekanan, walaupun dilaksanakan diluar biaya APBN melainkan dari
investor asing.”
Hal-hal yang saya tulis diatas murni
berdasarkan pemikiran dan opini penulis. Hormati kebebasan berpendapat. Penulis
akan selalu belajar dan terus belajar untuk memperbaiki kesalahan.